Pages

Subscribe:

Kamis, 22 Agustus 2013

Apakah doa kepada orang yang sudah meninggal diterima..???


DALIL
  • Surah Al An’aam (6) : 164
    Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah, Padahal Dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu. dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain[526]. kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan.”
  • Hadits riwayat Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Nasa’i dan Ahmad:
    Apabila seorang manusia meninggal maka putuslah amalnya, kecuali tiga hal: Sedekah jariyah atau ilmu yang bermanfaat sesudahnya atau anak yang shalih yang mendo’akannya”.
PENDAPAT
  • Imam al-Qurtubi berpendapat: Imam Ahmad bin Hanbal RA berkata. “Apabila kamu berziarah ke pemakaman, maka bacalah surat AL-fatihah, Al-mu’awwidzatain, dan surat Al-iklash. Kemudian haidahkanlah pahalanya kepada ahli kubur. Maka sesungguhnya pahala tersebut sampai kepada mereka” (Mukhtashar Tadzkirat Al-Qurthubi 25)
  • Ibnu Taimiyah menyatakan: “Syaikul Islam Taqiyuddin Ahmad bin Taimiyah dalam kitab Tatawanya berkata,” pendapat yang benar dan sesuai dengan kesepakatan imam, bahwa mayit dapat memperoleh manfaat dari semua ibdadah,baik ibadah badaniyah (ibadah fisik) seperti sholat, puasa, membaca Al-qur’an, atau ibada maliyah (ibadah materi) seperti sedekah dan lain-lainnya. Hal yang sama juga berlaku untuk berdo’a dan membaca istigfar bagi mayit (Hukum Al-Syariah Al-aslamiyah fi m’tamil arba’in , 36).
  • Sebagian ulama juga berpendapat bahwa doa kepada orang yang meninggal dunia tidak akan sampai. Hal ini berangkat dari pemahaman surat al-An’am ayat 6, bahwa orang yang meninggal dunia akan menanggung amal dan perbuatannya masing-masing. Pada saat seeorang meninggal dunia maka malaikat datang dan memperhitungkan amalnya untuk menilai apakah orang tersebut pantas diberi siksa kubur atau tidak.
ANALISASurat al-An’am ayat 6 secara tegas menyatakan bahwa baik buruk perbuatan manusia hanya dia sendiri yang menanggungnya. Karena tidak adil jika seseorang harus menanggung dosa dari perbuatan yang tidak ia lakukan.
Namun jika melihat pada hadis Nabi saw di atas. Bukan tidak mungkin jika doa orang yang masih hidup dengan izin Allah swt bisa sampai. Pada hadist Nabi saw di atas disebutkan bahwa amal perbuatan seseorang putus kecuali 3 hal:
  1. Sedekah jariyah
  2. ilmu yang bermanfaat sesudahnya
  3. anak yang shalih yang mendo’akannya.
Pada poin ke tiga bisa kita pahami bahwa anak yang shalih doanya dapat sampai kepada orang tuanya yang sudah meninggal. Sehingga diharapkan dosa orang yang sudah meninggal dapat diampuni oleh Allah swt. Mengenai Allah mau mengampuni sedikit, sebagian, atau semua dosanya, itu semua tergantung pada kehendak Allah swt.
Doa anak yang shaleh dikaitkan dengan tahlilan adalah bahwa rangkaian bacaan dalam tahlilan merupakan usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah swt, agar mendekati kata shaleh. Ketika rangkain tahlil sudah selesai, dan diakhiri doa untuk mendoakan orang yang sudah meninggal dunia, baik orang yang berdoa ataupun yang mengamini sudah lebih baik atau lebih suci karena sudah berdzikir mendekatkan diri kepada Allah swt.
KESIMPULAN
  • Doa anak/orang yang shaleh diterima Allah swt.
  • Tahlilah adalah media untuk mendekatkan diri, mensucikan diri dengan berdzikir agar dapat mendekati kriteria shaleh.
  • Adapun tujuan hajat mendoakan orang meninggal dunia dilakukan dengan doa yang dibaca di akhir tahlilan. Jadi bukan tahlilannya yang dihadiahkan kepada orang yang meninggal, melainkan doa pada akhir acara ketika semua jamaah sudah berusaha menjadi orang shaleh dengan tahlilan (berdzikir)

    (sumber : http://hukum-islam.com/2013/03/apakah-doa-kepada-orang-yang-meninggal-bisa-sampai/)

Hukum Music Dalam Islam


PROLOG
Islam merupakan sekumpulan aturan sebagai petunjuk bagi umatnya untuk menjalani kehidupan ini. Sehingga setiap laku manusia pasti ada hukumnya termasuk menciptakan atau mendengarkan musik. Musik adalah sebuah karya seni tempat mencurahkan hasil olah cipta rasa dan karsa. Oleh karenanya tentu ada hukumnya.
DALIL
  • Surah Luqman: (6):
    Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan.”
  • Surah An-Najm: (59-61):
    “Maka apakah kalian merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kalian menertawakan dan tidak menangis? Sedangkan kalian ber-sumud?”
     (Ibnu Abbas menafsirkan bahwa sumud itu adalah bernyanyi)
  • Hadits Abu ‘Amir atau Abu Malik Al-Asy’ari bahwa Rasulullah saw bersabda:
    Akan muncul di kalangan umatku, kaum-kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan alat-alat musik”(HR. Al-Bukhari, 10/5590).
PENDAPAT
  • Ibnu Taimiyah: “Seorang hamba jika sebagian waktunya telah tersibukkan dengan amalan yang tidak disyari’atkan, dia pasti akan kurang bersemangat dalam melakukan hal-hal yang disyari’atkan dan bermanfaat. Oleh karena itu, kita dapati pada orang-orang yang kesehariannya dan santapannya tidak bisa lepas dari nyanyian, mereka pasti tidak akan begitu merindukan lantunan suara Al Qur’an. Mereka pun tidak begitu senang ketika mendengarnya. Mereka tidak akan merasakan kenikmatan tatkala  mendengar Al Qur’an dibanding dengan mendengar bait-bait sya’ir (nasyid). Bahkan ketika mereka mendengar Al-Qur’an, hatinya pun menjadi lalai.”
  • Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Malik dalam kitab Mughni al-Muhtaj berpendapat bahwa mendengarkan musik hukumnya adalah makruh.
  • Imam As-Syaukani dalam Naylul Authar menyebutkan, masyarakat Madinah dan para ulama yang sependapat dengan mereka, serta ahli sufi, memberikan keringanan dalam hal lagu, meski menggunakan alat musik.
  • Abu Mansour al-Baghdadi al-Syafi’i dalam bukunya As-Simaa’ menyebutkan, Sahabat Abdullah bin Ja’far berpendapat tidak ada masalah dengan lagu, ia mendengarkan lagu-lagu yang dipetik hambanya. Hal itu Ia lakukan pada masa kekhalifahan Ali ra. Begitu juga sahabat lainnya, Kadhi Syureih, Sa’id bin al-Musayyab, Atha’ bin Abi Rabah, Az-Zuhri dan al-Sya’bi.
  • Imam al-Ghazali berpendapat: mendengarkan musik atau nyanyian tidak berbeda dengan mendengarkan perkataan atau bunyi-bunyian yang bersumber dari makhluk hidup atau benda mati. Setiap lagu memiliki pesan yang ingin disampaikan. Jika pesan itu baik dan mengandung nilai-nilai keagamaan, maka tidak jauh berbeda seperti mendengar ceramah/nasihat-nasihat keagamaan. Juga sebaliknya.
ANALISA
Al-Quran tidak menjelaskan hukum lagu atau musik secara tegas. Dalam hal muamalah, kaidah dasarnya adalah:al-ashlu fi al-asyaa al ibahah (segala sesuatu hukumnya adalah boleh). Batasan dari kaidah tersebut adalah selama hal tersebut tidak bertentangan dengan hukum Islam (syariat).
Para ulama yang mengharamkan musik mendasarkan argumennya pada surat Luqman ayat (6) yang menyebutkan bahwa orang yang mengucapkan perkataan yang tidak bermanfaat akan mendapatkan adzab yang pedih. Artinya, bahwa musik yang berupa suara yang keluar dari alat musik dan ber-ritme secara teratur bukanlah merupakan ucapan yang mengandung perkataan jelek. Yang mengandung perkataan adalah lagu. sedangkan lagu tidak semuanya mengandung kata-kata yang jelek atau mengarah pada perbuatan maksiat. Untuk lagu yang mengandung kata-kata yang tidak baik dan mengarah pada perbuatan maksiat tentu hukumnya haram, sedangkan lagu yang berisi lirik yang baik apalagi bernada syiar, maka hukumnya boleh. Jadi yang mempengaruhi hukum musik itu bukan musiknya, melainkan sesuatu yang lain di luar musik, seperti lirik lagu yang berisi kata-kata yang tidak baik.
Sebagaimana yang dikatakan al-Ghazali, larangan tersebut tidak ditunjukkan pada alat musiknya (seruling atau gitar), melainkan disebabkan karena “sesuatu yang lain” (amrun kharij). Di awal-awal Islam, kata al-Ghazali, kedua alat musik tersebut lebih dekat dimainkan di tempat-tempat maksiat, sebagai musik pengiring pesta minuman keras.Hal ini tentu dilarang.
Musik juga dapat menjadi makruh bahkan bisa haram ketika membuat orang yang membuat atau mendengarkannya menjadi lalai akan kewajibannya kepada Allah swt. Sama halnya dengan bermain game, jalan-jalan, nonton TV bahkan bekerja akan menjadi haram jika menjadikan seseorang lalai akan kewajibannya kepada Allah. Berbeda dengan judi, yang meskipun tidak mengganggu waktu shalat misalnya, tapi tetap diharamkan. Karena sekalipun al-Quran tidak menyatakan hukum judi secara tegas, tentu dilihat dari madharatnya, hukumnya adalah haram.
Di sisi lain, kita tidak dapat menghentikan arus globalisasi. Musik sudah terdengar di setiap sudut ruang kehidupan kita. Jika kita tidak membuat musik alternative yang dapat mendekatkan diri kepada Allah swt, seperti yang dilakukan oleh Opick dkk, maka generasi kita hanya akan mendengarkan lagu-lagu cinta dan bahkan lagu-lagu dengan lirik yang tidak mendidik.
KESIMPULAN
  • Musik tidak haram, yang membuat haram adalah amrun khorij (faktor di luar) musik, seperti sebagai pengiring pesta miras, musik erotis, musik dengan lirik lagu porno. Jadi substansinya tidak haram.
  • Hukum mendengarkan musik adalah kondisional, tergantung dari untuk apa dan bagaimana efeknya. Jika dengan mendengarkan musik menjadi lupa shalat, membaca al-Qur’an dsb yang bisa mendekatkan diri kepada Allah, maka hukumnya adalah haram. Tapi mubah jika sebaliknya.

Bagi Yang Masih Ragu Pacaran Atau Tidak ...????

Assalammu'alaikum Wr,Wb saudara ku sekalian kali ini ane akan memposting hal yang lagi trend dikalangan remaja sekarang yaitu PACARAN nah biar gak bingung pacaran atau kagak mari kita simak post berikut

PROLOG
Siapa yang tidak pernah pacaran? Mungkin ada, namun bisa dipastikan hanya ada 1 di antara 100 orang. Tidak terkecuali penulis. hehe.. Apa sih itu pacaran? dan Bagaimana pacaran dalam pandangan hukum Islam?

DALIL

Surah an-Nur, ayat (2):
“Dan janganlah kamu menghampiri zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.”
Hadis riwayat Baihaqi:
“Hindarilah zina sebab ia menimbulkan enam kesan buruk, tiga di dunia dan tiga di akhirat. Yang di dunia, zina akan menghilangkan kegembiraan, menyebabkan fakir dan mengurangi umur sedangkan keburukan di akhirat nanti, zina menyebabkan pelakunya diazab, dihisab secara ketat dan kekal di neraka.”
Surah al-Hujurat: ayat (13).
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

PENDAPAT

Ibnu Qayyim Al-Juziyah dalam kitabnya Raudhatul Muhibbiinberpendapat bahwa pacaran itu tidak mutlak haram, tetapi boleh jika
mengutamakan akhirat
mencintai karena Allah
membutuhkan pengawasan Allah dan orang lain
menyimak kata-kata yang makruf
tidak menyentuh sang pacar
menjaga pandangan
seperti berpuasa
Ulama lainnya berpendapat bahwa pacaran itu lebih besar madhorotnya dibanding dengan manfaatnya. Karena banyak perzinahan terjadi berawal dari pacaran.

ANALISA

Perbedaan pendapat di atas terjadi jelas karena adanya perbedaan dalam pendefinisian istilah Pacaran. Setidaknya ada 3 jenis pacaran:

Pacaran sebagai upaya untuk saling mengenal calon pasangan yang pada saatnya akan sampai pada jenjang pernikahan demi untuk mencari ridlo Allah swt tanpa disertai maksiat sama sekali.
Pacaran sebagai upaya untuk saling mengenal calon pasangan yang pada saatnya akan sampai pada jenjang pernikahan namun dalam prosesnya disertai maksiat, dengan berkencan, berboncengan dsb.
Pacaran yang hanya dijadikan sebagai media untuk bermaksiat tanpa ada keinginan untuk serius ke jenjang pernikahan.
Diantara 3 jenis pacaran di atas, yang jenis pertama hukumnya adalah boleh. Namun yang kedua dan ketiga, karena disertai dengan maksiat, maka hukumnya haram.

Telaah lebih lanjut yang harus dikembangkan adalah tentang pacaran dengan melihat pada tingkatan usia. Hal ini perlu dilakukan dengan melihat faktor kepentingan mereka pada pacaran.

Usia remaja/ kurang dari 19 tahun. Pada usia ini, seorang remaja yang mayoritas masih duduk di bangku sekolah SMP atau pun SMA masih memerlukan pendidikan dengan konsentrasi tinggi, karena prestasi akademik seseorang sangat dipengaruhi pada jenjang ini. Pada usia ini, bisa dikatakan pacaran hanya akan membuat pendidikan seseorang menjadi terganggu. Selain itu, arah pacaran mereka masih jauh dari keseriusan untuk menikah. Sehingga biasanya hanya mereka lakukan untuk bersenang-senang saja yang pada akhirnya dapat menggangu pendidikan mereka. Oleh karena itu, untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, maka berdasarkan metode syaddzudari’at, maka hukum berpacaran bagi anak SMP maupun SMA adalah haram.
Usia 20 tahun lebih. Usia ini rata-rata terjadi pada masa-masa kuliah. Pada masa ini, biasanya seseorang sudah mulai menentukan arah tujuan hidupnya dengan memilih jurusan bidang keilmuan yang akan menentukan karirnya ke depan, meskipun tidak menjamin. Pada masa-masa ini, pacaran bisa menjadi ajang ta’aruf agar bisa saling mengenal satu dengan yang lainnya untuk sebuah komitmen yang berujung pada pernikahan. Semua itu tentu boleh asalkan tidak disertai dengan perbuatan maksiat.
Usia 25 tahun lebih. Bagi laki-laki maupun perempuan, usia 25 tahun adalah usia yang sudah matang untuk menikah. Jika pada usia ini masih belum memiliki pacar, maka dikhawatirkan akan sulit memperoleh jodoh – terlepas jodoh di tangan Allah, tapi Allah pasti akan lebih menghargai orang yang berusaha dari pada yang tidak. Sedangkan Nabi saw, mengajurkan jika kamu sudah ba’ah (mampu) secara finansial, umur dsb, maka segeralah menikah. Jika memang pacaran bisa menjadi ajang ta’aruf tanpa disertai maksiat sama sekali, maka pacaran pada usia ini hukumnya adalah sunah. Karena perantara hukumnya sama dengan yang diperantarai. Seperti wudlu hukumnya adalah wajib karena menjadi perantara keabsahan sebuah shalat yang wajib pula dilakukan.

KESIMPULAN
Pacaran yang boleh adalah:

-yang dilakukan hanya karena mengharap ridlo Allah swt
-tanpa disertai maksiat sama sekali
-tidak mengganggu pendidikan dan
-orientasinya hanyalah untuk menikah.
wallahua’lam.

nah giman sudah diputuskan...??? pacaran atau tidak..??? kembali kepribadi masing-masing ya akhiii

Hukum Bunga Bank Dalam Islam

assalamu'alaikum wr.wb saudara-saudara kaum muslimin wal muslimah sekalian kali ini kita membahas hukum bunga bank dalam islam post ini ane terbitkan karena ane juga ragu apa hukum nya bunga bank dalam islam, TOYIB langsung saja


PROLOG
Makna harfiyah dari kata Riba adalah pertambahan, kelebihan, pertumbuhan atau peningkatan. Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Para ulama sepakat bahwa hukumnya riba adalah haram. Sebagaimana firman Allah swt dalam surat Ali Imran ayat 130 yang melarang kita untuk memakan harta riba secara berlipat ganda.
MASALAH
Apakah bunga bank termasuk kategori riba?
DALIL
Ada banyak ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang keharaman riba, diantaranya:
  • Surat Al-Baqarah, ayat 275:
    Orang-orang yang makan (mengambil) RIBA’ tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan RIBA’, padahal Alloh telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan RIBA’. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil RIBA’), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Alloh. Orang yang kembali (mengambil RIBA’), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
  • Surat Ali ‘Imran, ayat 130:
    Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.
  • Surat Ar-Rum, ayat 39:
    Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah.
PENDAPAT
  • Jumhur (mayoritas/kebanyakan) Ulama’ sepakat bahwa bunga bank adalah riba, oleh karena itulah hukumnya haram. Pertemuan 150 Ulama’ terkemuka dalam konferensi Penelitian Islam di bulan Muharram 1385 H, atau Mei 1965 di Kairo, Mesir menyepakati secara aklamasi bahwa segala keuntungan atas berbagai macam pinjaman semua merupakan praktek riba yang diharamkan termasuk bunga bank. Berbagai forum ulama internasional yang juga mengeluarkan fatwa pengharaman bunga bank.
  • Abu zahrah, Abu ‘ala al-Maududi Abdullah al-‘Arabi dan Yusuf Qardhawi mengatakan bahwa bunga bank itu termasuk riba nasiah yang dilarang oleh Islam. Karena itu umat Islam tidak boleh bermuamalah dengan bank yang memakai system bunga, kecuali dalam keadaan darurat atau terpaksa. Bahkan menurut Yusuf Qardhawi tidak mengenal istilah darurat atau terpaksa, tetapi secara mutlak beliau mengharamkannya. Pendapat ini dikuatkan oleh Al-Syirbashi, menurutnya bahwa bunga bank yang diperoleh seseorang yang menyimpan uang di bank termasuk jenis riba, baik sedikit maupun banyak. Namun yang terpaksa, maka agama itu membolehkan meminjam uang di bank itu dengan bunga.
  • Dr. Sayid Thantawi yang berfatwa tentang bolehnya sertifikat obligasi yang dikeluarkan Bank Nasional Mesir yang secara total masih menggunakan sistem bunga, dan ahli lain seperti Dr. Ibrahim Abdullah an-Nashir dalam buku Sikap Syariah Islam terhadap Perbankan mengatakan, “Perkataan yang benar bahwa tidak mungkin ada kekuatan Islam tanpa ditopang dengan kekuatan perekonomian, dan tidak ada kekuatan perekonomian tanpa ditopang perbankan, sedangkan tidak ada perbankan tanpa riba. Ia juga mengatakan, “Sistem ekonomi perbankan ini memiliki perbedaan yang jelas dengan amal-amal ribawi yang dilarang Al-Qur’an yang Mulia. Karena bunga bank adalah muamalah baru, yang hukumnya tidak tunduk terhadap nash-nash yang pasti yang terdapat dalam Al-Qur’an tentang pengharaman riba
  • Pendapat A. Hasan, pendiri dan pemimpin Pesantren Bangil (Persis) berpendapat bahwa bunga bank seperti di negara kita ini bukan riba yang diharamkan, karena tidak bersifat ganda sebagaimana yang dinyatakan dalam surat Ali Imran ayat 130.
  • Menurut musyawarah nasional alim ulama NU pada 1992 di Lampung, para ulama NU tidak memutus hukum bunga bank haram mutlak. Memang ada beberapa ulama yang mengharamkan, tetapi ada juga yang membolehkan karena alasan darurat dan alasan-alasan lain.
  • Hasil rapat komisi VI dalam Musyawarah Nasional (Munas) ke-27 Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) menetapkan, bunga perbankan termasuk riba sehingga diharamkan.
ANALISA
Larangan al-Qur’an terhadap pengambilan riba adalah jelas dan pasti. Sepanjang pengetahuan tidak seorang pun mempermasalahkannya. Tetapi pertentangan yang ditimbulkan adalah mengenai perbedaan antara riba dan bunga. Salah satu mazhab pemikiran percaya bahwa apa yang dilarang Islam adalah riba bukan bunga. Sementara suatu mazhab pemikiran lain merasa bahwa sebenarnya tidak terdapat perbedaan antara riba dan bunga. Karena itu pertayaan pertama yang harus dijawab adalah apakah ada perbedaan antara riba dalam al-Qur’an dan bunga dalam dunia kapitalis.
Menurut para ulama fiqih, riba dibagi menjadi 4 (empat) macam:
  1. Riba Fadhl, yaitu tukar menukar dua barang yang sama jenisnya dengan tidak sama timbangannya atau takarannya yang disyaratkan oleh orang yang menukarkan. Contoh: tukar menukar dengan emas, perak dengan perak, beras dengan beras, gandum dan sebagainya.
  2. Riba Qardh, yaitu meminjamkan sesuatu dengan syarat ada keuntungan atau tambahan bagi orang yang meminjami/mempiutangi. Contoh : Andi meminjam uang sebesar Rp. 25.000 kepada Budi. Budi mengharuskan Andi mengembalikan hutangnya kepada Budi sebesar Rp. 30.000. maka tambahan Rp. 5.000 adalah riba Qardh.
  3. Riba Yad, yaitu berpisah dari tempat sebelum timbang diterima. Maksudnya: orang yang membeli suatu barang, kemudian sebelumnya ia menerima barang tersebut dari sipenjual, pembeli menjualnya kepada orang lain. Jual beli seperti itu tidak boleh, sebab jual-beli masih dalam ikatan dengan pihak pertama.
  4. Riba Nasi’ah, yaitu tukar menukar dua barang yang sejenis maupun tidak sejenis yang pembayarannya disyaratkan lebih, dengan diakhiri/dilambatkan oleh yang meminjam. Contoh : Rusminah membeli cincin seberat 10 Gram. Oleh penjualnya disyaratkan membayarnya tahun depan dengan cincin emas seberat 12 gram, dan jika terlambat satu tahun lagi, maka tambah 2 gram lagi menjadi 14 gram dan seterusnya.

Kunci Supaya Do'a Terkabulkan

Seseorang yang memiliki hajat (tujuan) tertentu biasanya akan berdoa setulus mungkin kepada Allah SWT agar doanya dikabulkan dan hajatnya dapat terpenuhi. Namun, banyak orang dalam doanya kurang khusyuk sehingga tak jarang doanya ditangguhkan sampai hari akhir. Namun, tahukan Anda ada beberapa syarat/kunci agar doa kita dapat dikabulkan olehNya. Berdoalah dengan ikhlas. Doa yang ikhlas, dan sesuai dengan anjuran Islam. Kemudian berusahalan untuk ber-ittiba' (mengikuti) anjuran-anjuran kepada Rasulullah SAW, sesuai dengan firman Allah, "Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu" (QS. Al Ahzaab 21). Mungkin, sebagian manusia kadang tidak yakin bahwa doanya akan diterima dan dikabulkan, sebenarnya berdoa yang baik adalah berdoa dengan disertai keyakinan bahwa doanya akan dikabulkan, sejalan dengan sabda Rasulullah SAW, "Berdo’alah kalian kepada Allah dalam keadaan yakin akan terkabulnya doa itu" (HR. Tirmidzi). Sebaiknya dalam bedoa tidak tergesa-gesa memohon agar doanya cepat dikabulkan, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, "Akan dikabulkan do’a seseorang di antara kalian sepanjang ia tidak tergesa-gesa. Ia berkata, 'Aku telah berdoa dan berdoa, namun aku tidak melihat terkabulnya doaku', sehingga ia pun tidak lagi berdoa" (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majjah). Doa akan senantiasa dikabulkan oleh Allah SWT, dan Dia tidak akan pernah lupa soal itu. Itu semua tergantung bagaimana doa Anda sepenuhnya. Ataupun, jika doa Anda tidak dikabulkan olehNya, maka ada rahasia yang Allah SWT yang lebih Dia ketahui. Selalulah untuk berhusnudzon (berbaik sangka) kepada apa yang Dia beri. (RemajaIslam)

(SINGKAT) Hukum dan Cara Pacaran Menurut Islam



Manusia yang memang diciptakan berpasang-pasangan dengan memiliki rasa kasih sayang terhadap sesama lawan jenis yang telah Allah karuniakan terhadap kita semua hendaknya harus dijaga dan dilakukan sebagaimana menurut tuntunan yang telah diberikan oleh-Nya berdasar Al-Qur'an dan Hadits.
Berpacaran berarti saling mengasihi, memberikan perhatian yang spesial untuk orang yang dikasihi. Namun, ketika ada hukum dalam Islam yang mengatakan berdua-duaan, menyentuh, kepada antar lawan jenis tidak diperbolehkan, maka pastilah Anda akan menarik sebuah kesimpulan bahwa mutlak hukum pacaran dalam Islam sama sekali tidak diperbolehkan, itu benar namun tidak seluruhnya benar.
Islam menganjurkan nikah dan sama sekali tidak menganjurkan, tidak memperbolehkan pacaran. Allah berfirman dalam Q.S An-Nisa' ayat 3 sebagai berikut:


hukum pacaran dalam, menurut agama Islam
Artinya: 
"Nikahilah wanita-wanita lain yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat, kemudian apabila kamu takut tidak bisa berlaku adil maka nikahilah seorang saja".

Namun, lain halnya dengan pacaran setelah pernikahan. Berpacaran setelah menikah akan boleh-boleh saja karena suatu pasangan telah terikat hubungan pernikahan yang sah. Dalam hal ini, tidak diperbolehkannya hubungan berpacaran, adalah ketika seseorang belum diikat dengan hubungan pernikahan yang sah.

Jadi, telah jelas bahwa pacaran dalam hukum Islam pada saat belum menikah adalah tidak diperbolehkan.

- See more at: http://www.ol-magazine.com/2013/05/hukum-pacaran-menurut-islam.html#sthash.Lw2M1fgE.dpuf